Live Review : Reuni The Stone Roses, Senayan, Jakarta

Lorong Musik
The Stone Roses tidak malu-malu menunjukkan keinginan mereka untuk dipuja. Sebagai contoh, album perdana mereka rilisan 1989 yang bertajuk sama dengan nama band dibuka lewat lagu berjudul “I Wanna Be Adored” dan kemudian ditutup menggunakan “I Am the Resurrection”.

Asumsi belaka memang, namun faktanya tak ada yang lebih pantas dibanding memuja mereka terutama setelah vokalis Ian Brown, gitaris John Squire, bassist Gary “Mani” Mounfield, dan drummer Alan “Reni” Wren sepakat untuk membangkitkan kembali grup musik yang mereka perkuat tersebut pada pertengahan 2012 silam.

Puja-puji pun dengan liar hilir mudik di Lapangan D Senayan, Jakarta pada Sabtu (23/2) lalu selaku lokasi dan tanggal dilaksanakannya konser perdana The Stone Roses di Indonesia yang digelar oleh promotor Flux and Play. Bahkan jauh sebelum konser berjalan, orang-orang yang hadir sudah memuja The Stone Roses lewat atribut wajib mulai dari kaos band The Stone Roses, jaket dan/atau sepatu Adidas, hingga, tentu saja, topi pancing a la Reni.

Kedatangan The Stone Roses sudah lama dinanti penikmat musik tanah air, apalagi saat kuartet asal Manchester, Inggris tersebut sudah lebih dulu menyambangi negara tetangga, Singapura, pada Juli 2012, yang berarti hanya berjarak satu bulan setelah menjalankan konser pertama mereka sejak mengumumkan reuni.

Maka tak mengherankan saat dentuman bass fenomenal Mani untuk� lagu “I Wanna Be Adored” berkumandang direspon dengan seruan penonton yang mengikuti nada dari bassline tersebut; sebuah prosesi yang hampir selalu terjadi di setiap konser The Stone Roses, layaknya ambil wudhu sebelum bersembahyang. Lirik pembuka “I don’t have to sell my soul, he’s already in me” yang juga diikuti penonton menjadi panjatan doa penanda ibadah sudah dimulai.

“I Wanna Be Adored” menjadi pembuka set The Stone Roses yang dihiasi dengan lagu-lagu terbaik di sepanjang karier mereka. Merupakan hal langka bila koor massal penonton tak terdengar di sepanjang konser. Seakan sudah bersiap diri, mereka turut menyanyikan baris demi baris lirik lagu seperti “Sally Cinnamon”, “Ten Storey Love Song”, “Shoot You Down”, “Fool’s Gold”, “Waterfall”, “Don’t Stop”, sampai lagu penutup “I Am the Resurrection”.

Jika berbicara momen musikal, bagaimana seksi ritme Mani dan Reni menjahit lagu “Where Angels Play” dengan “Shoot You Down” menjadi salah satu yang terbaik. Begitu pula dengan eksplorasi gitar panjang John Squire yang liar, mengingatkan akan Jimmy Page pada masa kejayaannya, pada penutup lagu “Fool’s Gold” dan “I Am the Ressurection”.

Belum lagi kedisiplinan mereka dalam membawakan “Don’t Stop” yang merupakan versi terbalik dari lagu “Waterfall”. Tata suara memang sempat bermasalah dan mengusik kekhusyukan, namun problem tersebut tak mampu membendung rasa nikmat yang dialami penonton. Berselancar di kerumunan bahkan terjadi beberapa kali diantara penonton baris depan.

Bagi massa Anything But United (sebutan bagi pembenci klub sepak bola Manchester United), bagian akhir konser di mana Ian Brown mengambil bendera Manchester United dari penonton dan kemudian menciumnya bisa saja jadi ganjalan, namun toh pada akhirnya penonton tetap bersorak meminta encore walau tak digubris oleh pihak band.

Ian Brown, John Squire, Mani, dan Reni lebih memilih untuk berpelukan satu sama lain dan memberi hormat kepada penonton yang ada di hadapan dibanding berbasa-basi akting bahwa konser sudah usai. Sebuah gestur penutupan yang manis dari salah satu band dengan persenyawaan musikal terbaik dari Tanah Britania.
Previous
Next Post »

Silahkan berkomentar tentang ini... ConversionConversion EmoticonEmoticon